Selasa, 20 November 2012

budaya dan pembentukan konsep diri


BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KONSEP DIRI
I.                   PENDAHULUAN
Konseling sebagaimana kita ketahui adalah suatu proses pemberian bantuan dari seorang ahli yang disebut dengan konselor kepada seorang yang mengalami permasalahan atau klien untuk membantu klien memecahkan masalah yang sedang klien hadapi. Manusia sebagai objek dari proses konseling tidaklah selalu memiliki latar belakang yang sama. Mereka bisa saja berasal dari budaya yang berbeda baik itu tingkat pendidikan maupun status sosial-ekonomi.
Oleh karena itu, seorang konselor dituntut untuk dapat menyesuaikan diri serta memiliki kemampuan menghadapi segala perbedaan yang ada pada diri klien-kliennya juga perbedaan pada dirinya. Hal ini membuat konselor harus mempunyai kesadaran akan budaya yang dia miliki dan memahami pula pada budaya yang dimiliki klien. Karena masalah budaya bukanlah masalah yang sederhana, banyak unsur yang ada di dalamnya. Sehingga apabila konselor tidak mampu memahami budaya yang melatarbelakangi individu, maka dimungkinkan akan terjadi sebuah kesalahpahaman yang akhirnya bisa mengganggu jalannya proses konseling. 
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah Pengertian Budaya?
B.     Bagaimanakah Pengertian Konsep Diri?
C.     Bagaimanakah Pengaruh Budaya dalam Pembentukan Konsep Diri?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Budaya
Budaya merupakan daya dari budi yang merupakan cipta, karsa, dan rasa. Sementara kebudayaan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata budhidayyah yang berarti daya dan budi.[1] Dalam konteks psikologi lintas budaya, budaya diartikan sebagai seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimilki oleh sekelompok orang. Seperti yang diungkapkan oleh Matsumoto (1996) “culture as the set of attitudes, values, beliefs, and behaviors shared by a group of people, but different for each individual, communicated from one generation to the next”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya sebagai gagasan, baik yang muncul sebagai perilaku maupun ide seperti nilai dan keyakinan, sekaligur sebagai material, produk, maupun sesuatu yang hidup dan menjadi panduan bagi individu anggota kelompok. Selain itu, definisi tersebut menggambarkan bahwa budaya adalah suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu.
Ada dua hal yang ditekankan berdasarkan pengertian tadi, yaitu 1) adanya penyebaran kepemilikan (sharing) dari aspek-aspek kehidupan dan perilaku, 2) adanya hal-hal (things) yang dibagikan kepemilikannya (Shared).[2]
Dalam bukunya Jalaludin Rakhmat dan Deddy Mulyana (2000) mengatakan budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.[3]
B.     Konsep Diri
1.      Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri. Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima, dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga prinsip. [4]
Para ahli mendefinisikan konsep diri sebagai berikut :
a. William D. Brooks yang dikutip Jalaluddin Rahmad menyebut konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have drived from experiences and our interaction with others”. Pengertian tersebut memiliki makna bahwa konsep diri merupakan persepsi manusia yang meliputi fisik, sosial, dan psikis yang berasal dari pengalaman dan interaksi manusia dengan dirinya sendiri dan masyarakat (orang lain).[5]
b. Musthofa Fahmi menyatakan; konsep diri adalah sekumpulan pengenalan orang terhadap dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya itu.
c. Carles Haston Cooley memberikan definisi konsep diri sebagai pengenalan terhadap diri yang merupakan suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain.
d. Pudjijogyanti menyatakan konsep diri merupakan sikap, pandangan, atau keyakinan seseorang terhadap keseluruhan dirinya.
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Secara lebih luas konsep diri merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri secara keseluruhan sebagai hasil observasi terhadap dirinya di masa lalu dan di masa sekarang yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang.
2.      Faktor-faktor Pembentuk Konsep Diri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri, antara lain:
a.       Usia
Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia, di mana perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri seseorang menyangkut hal-hal di sekitar diri dan keluarganya. Pada masa remaja, konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan orang yang dipujanya. Sedangkan remaja yang kematangannya terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa tidak dipahami sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. Sedangkan masa dewasa konsep dirinya sangat dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan, dan pada usia tua konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik, perubahan mental maupun sosial.
b.      Inteligensi
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf intreligensinya semakain baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian pula sebaliknya
c.       Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestisnya. Jika prestisnya meningkat maka konsep dirinya akan berubah.

d.      Status Sosial Ekonomi
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri yang tinggi (dalam Skripsi Darmayekti, 2006:21).
e.       Hubungan Keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, maka akan tergolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
f.       Orang Lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Bagaimana anda mengenal diri saya, akan membentuk konsep diri saya. Sullivan (dalam Rakhmat, 2005:101) menjelaskan bahwa individu diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan dirinya, menyalahkan dan menolaknya, ia akan cenderung tidak akan menyenangi dirinya.
g.      Kelompok Rujukan (Reference Group)
Yaitu kelompok yang secara emosional mengikat individu, dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya. Menurut Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:105), ciri orang yang memiliki konsep diri negatif ialah peka terhadap kritik, responsif sekali terhadap pujian, mempunyai sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenagi orang lain, merasa tidak diperhatikan, dan bersikap pesimis terhadap kompetisi.
Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal:
1)  Kemampuan mengatasi masalah.
2)  Merasa setara dengan orang lain.
3)  Menerima pujian tanpa rasa malu.
4)  Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
5) Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.[6]
C.     Pengaruh Budaya Terhadap Konsep Diri
Apa yang dimaksud dan dipahami sebagai diri konsep diri berbeda dalam setiap budaya. Meski perbedaan tersebut sering tak terlihat sama seperti saat manusia juga tidak menyadari perasaan dirinya dan bagaimana perasaan akan diri itu dapat mempengaruhi hidup seseorang. Perbedaan dalam memandang diri akan terlihat ketika individu-individu dari berbagai latar belakang budaya yang memiliki rasa akan diri yang berbeda ini berkumpul atau bertemu satu sama lain. Ada istilah yang sering digunakan untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya, yaitu konstruk diri individual dan diri kolektif.
a.       Diri Individual
Diri individual merupakan diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal seperti kemampuan invidual, intelegensi, sifat kepribadian, dan pilihan individual. Diri individual adalah diri yang terpisah dari orang lain dan lingkungan, atau diri yang tidak tergantung (independent construal of self)
Budaya dan diri individual mendesain dan menyeleksi sejarah manusia agar tidak bergantung pada anggota atau masyarakat lain. Menurut konstruk diri individual manusia didorong untuk membangun konsep diri yang terpisah dari orang lain termasuk dalam tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Menurut kerangka ini, nilai kesuksesan dan harga diri mengambil bentuk individualism. Jadi ketika seseorang berhasil melaksanakan tugas tanpa tergantung pada orang lain orang tersebut akan merasa lebih puas dan harga diri mereka akan meningkat. Keberhasilan individu adalah berkat usaha individu itu, sehingga diri dan masyarakat akan bengga karena seorang individu mampu maraih sukses tanpa bantuan orang lain.
b.      Diri Kolektif
Diri kolektif bisa dikatakan sebagai lawan atau kebalikan dari diri individual. Budaya yang menekankan pada diri kolektif memiliki ciri keterkaitan antar manusia satu dengan yang lain. Tugas utama budaya di sini adalah membuat bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain.
Individu diminta untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok di mana mereka bergabung dengan tujuan agar individu tersebut dapat membaca dan memahami pikiran perasaan orang lain, bersimpati, sehingga individu itu dapat memainkan peran yang telah diberikan kelompok.
Tugas normatif budaya di sini adalah mendorong saling ketergantungan (interdependence) satu sama lain. Dalam konstruk diri kolektif nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu fokus kepada status keterikatan mereka dan penghargaan serta tanggung jawab sosial.[7]
IV.             KESIMPULAN
Budaya tidak hanya mempengaruhi tingkah laku individu, tapi juga konsep diri individu. Seperti yang kita ketahui konsep diri adalah merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri secara keseluruhan sebagai hasil observasi terhadap dirinya di masa lalu dan di masa sekarang yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang.
Dalam kaitannya dengan budaya dan konsep diri ini membentuk dua konstruk diri yaitu diri individual dan diri kolektif. Diri individual adalah diri yang terpisah dari orang lain dan lingkungan, atau diri yang tidak tergantung (independent construal of self)
Sedangkan diri kolektif adalah lawan dari diri individual. Budaya yang menekankan pada diri kolektif memiliki ciri keterkaitan antar manusia satu dengan yang lain. Tugas utama budaya di sini adalah membuat bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain.
V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, Malang : UMM Press, 2004
http://bimbingankonselingkita.blogspot.com/2012/03/konsep-diri.html
Prasetya, Joko Tri,dkk. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta :  PT. Rieneka Cipta, 2009
Rakhmat, Jalaluddin dan Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT. remaja  Rosdakarya, 2000
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991




[1] Drs, Joko Tri Prasetya, dkk. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta :  PT. Rieneka Cipta, 2009, hal 28
[2] Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, Malang : UMM Press, 2004, hal 10-11
[3] Jalaluddin rahkmat dan Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT. remaja Rosdakarya, 2000, hal. 25
[4] Op. cit, Tr Dayakisni, Hal 117
[5] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, hlm. 99
[6] http://bimbingankonselingkita.blogspot.com/2012/03/konsep-diri.html
[7] Op. cit. Tri Dayakisni, hal: 119-121

Jumat, 02 November 2012

TUJUAN BIMBINGAN KONSELING AGAMA


TUJUAN BIMBINGAN KONSELING AGAMA

I.         PENDAHULUAN
Bimbingan dan konseling sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Bahwa bimbingan Islami merupakan proses pemberian bantuan  dari seorang yang ahli (konselor) kepada orang yang memiliki masalah (klien) untuk membantu mengatasi masalah.
Oleh karena itu, dalam proses bimbingan konseling agama agar dalam proses bimbingan konseling agama itu lancar, sesuai dengan rencana, maka dalam proses bimbingan harus mempunyai tujuan. Karena kalau dalam proses bimbingan konseling agama tidak mempunya tujuan yang ingin dicapai maka akan lama atau susah dalam membantu masalah klien. Sehingga tujuan dalam proses bimbingan konseling itu sangat penting. Maka dari itu seorang konselor harus mengetahui tujuan dari bimbingan itu sendiri.

II.      RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimanakah Pengertian Bimbingan Konseling Agama?
b.      Bagaimanakah tujuan Bimbingan Konseling Agama?

III.   PEMBAHASAN
1.      Pengertian Bimbingan Konseling Agama
Bimbingan Islami merupakan proses pemberian bantuan, artinya bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan, melainkan sekedar membnatu individu. Individu dibantu, dibimbing, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petuntuk Allah. Maksudnya sebagain berikut:
a.       Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan kodratnya yang ditentukan Allah, sesuai dengan sunnatullah, sesuai dengan hakekatnya sebagai makhluk Allah
b.      Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai denga pedoman yang telah ditentukan Allah melalui Rasul-Nya (ajaran Islam)
c.       Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berrati menyadari eksistensi diri sebagai makhluk Allah yang diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Dengan demikian bimbingan konseling agama (islam) merupakan proses bimbingan terhadap individu agar mampu hidup selaras yang berlandaskan Al-Qur’an dan As Sunnah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[1]


2.      Tujuan Bimbingan Konseling Agama
Dalam perjalanan hidup, karena berbagai faktor atau latar belakang manusia selalu berhadapan dengan masalah (problem), yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara yang seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang  yang mengahadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka orang yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Maka bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya. Bimbingan dan konseling Islami berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat.
Dengan demikian, tujuan dari bimbingan, konseling, dan tujuan bimbingan dalam islam, yaitu:
1.         Tujuan Bimbingan
Tujuan pemberian layanan bimbingan ialah agar individu dapat:
a.    Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karier, serta kehidupannya di masa yang akan datang
b.    Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin
c.    Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat, serta lingkungan kerja
d.    Mengatasi hambatan serta kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, ataupun lingkungan kerja.
2.         Tujuan Konseling
Menurut Shertzer dan Stone tujuan konseling, yaitu:
a.    Mengadakan perubahan perilaku pada klien sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan
b.    Memelihara dan mencapai kesehatan mental yang positif
c.    Penyelesaian masalah
d.    Mencapai keefektifan pribadi
e.    Mendorong individu mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya.[2]
3.         Tujuan Bimbingan Konseling dalam Islam
1)      Tujuan umum bimbingan konseling Islam
Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[3]
2)      Tujuan khusus bimbingan konseling Islam
a.    Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental
b.    Untuk menghasilkan  kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya
c.    Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi. Kesetiakawanan, tolong-menolong dan rasa kasih sayang
d.    Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya
e.    Untuk menghasilkan potensi ilahiyah, sehingga dengan potensi itu individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar, ia dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.[4]
f.     Membantu individu/kelompok individu mencegah timbulnya masalah-masalah dalam kehidupan keagamaan, antara lain dengan cara :
1.   Membantu individu menyadari fitrah manusia
2.   Membantu individu mengembangkan fitrahnya (mengaktualisasikannya)
3.   Membantu individu memahami dan menghayati ketentuan dan petunjuk Allah dalam kehidupan keagamaan
4.   Membantu individu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah mengenai kehidupan keagamaan.
g.    Membantu individu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan keagamaannya, antara lain dengan cara :
a.    Membantu individu memahami problem yang dihadapinya ;
b.   Membantu individu memahami kondisi dan situasi dirinya dan lingkungan;
c.    Membantu individu memahami dan menghayati berbagai cara untuk mengatasi problem kehidupan keagamaannya sesuai dengan syariat Islam;
d.   Membantu individu menetapkan pilihan upaya pemecahan problem keagamaan yang dihadapinya.
h.    Membantu individu memelihara situasi dan kondisi kehidupan keagamaan dirinya yang telah baik agar tetap baik dan atau menjadi lebih baik.[5]
i.      Untuk mengungkapkan kemampuan dasar mental-spiritual dan agama dalam pribadi anak agar diaktualisasikan dan difungsionalkan menjadi tenaga pendorong (motivator) bagi peningkatan proses kegiatan belajar mengajar anak didik.
j.      Berusaha meletakkan kemampuan mental-spiritual tersebut sebagai benteng pribadi anak didik dalam menghadapi tantangan dan rongrongan dari luar dirinya, baik yang berbentuk mental maupun yang berbentuk material.
k.    Berusaha menanamkan sikap dan orientasi kepada hubungan dalam empat arah yaitu dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya, dengan alam sekitarnya dan dengan dirinya sendiri sehingga menjadi pola hidup yang bersendikan nilai-nilai agamanya.
l.      Berusaha mencerahkan kehidupan batin sehingga segala kesulitan yang dihadapi, akan mudah diatasi dengan kemampuan mental rohaniahnya.[6]
IV.    KESIMPULAN
Bimbingan Konseling Agama (Islam) merupakan proses bimbingan terhadap individu agar mampu hidup selaras yang berlandaskan Al-Qur’an dan As Sunnah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dalam proses bimbingan konseling agama itu sangat penting adanya ditetapkan tujuan, karena seorang konselor itu itu harus mengetahui tujuan dari bimbingan konseling agama itu sendiri.
Dalam perjalanan hidup, karena berbagai faktor atau latar belakang manusia selalu berhadapan dengan masalah (problem), yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara yang seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang  yang mengahadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka orang yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Maka bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam Bimbingan dan konseling Islami berusaha membantu atau memiliki tujuan membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat.

V.       PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua.








DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky , Hamdani Bakran, Konseling & psikoterapi Islam, Jogyakarta:  Fajar Pustaka Baru, 2004
Musnamar, Thohari, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan & Konseling islami, Yogyakarta: UII Press, 1992
Nurihsan, Achmad Juntika, Bimbingan & Konseling dalan Berbagai Latar Kehidupan, Bandung: PT Refika Aditama, 2006
http://www.dedeyahya.com/2011/05/makalah-bimbingan-koneseling-agama.html




























[1] Thohari Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan & Konseling islami, Yogyakarta: UII Press, 1992, hal:5
[2] Achmad Juntika nurihsan, Bimbingan & Konseling dalan Berbagai Latar Kehidupan, Bandung: PT Refika Aditama,2006, hal: 8-12
[3] Op.cit, Thohari Musnamar, hal: 34
[4] Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling & psikoterapi Islam, Jogyakarta:  Fajar Pustaka Baru, 2004, hal:221
[6] http://www.dedeyahya.com/2011/05/makalah-bimbingan-koneseling-agama.html